
JOGJA – Program Studi Ilmu Hukum Universitas Jenderal Ahmad Yani (UNJANI) bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Estungkara Riset dan Duaz&Co menyelenggarakan series webinar ONLINE (Obrolan Peneliti Estungkara). Topik yang diangkat dalam ONLINE ke-3 kali ini adalah “Keberadaan Jaminan Sebagai Perlindungan Dalam Kredit dengan Adanya Pandemi Covid-19” pada Rabu (29/7/2020).
Webinar dipimpin oleh moderator Fransiskus Asisi S.H., (Peneliti Estungkara), dengan menghadirkan 3 (tiga) narasumber yakni Ali Masykur Fathurrahman, S.H., (Peneliti Estungkara Riset), Rizki Karo Karo, S.H., M.H (Dosen Universitas Pelita Harapan Jakarta), dan Ardy Hartoyo, S.H. (Praktisi Perbankan). Webinar dibuka oleh Ketua Prodi Ilmu Hukum UNJANI Niken Wahyuning Retnomumpuni., S.H., M.H dan Dr. Muhammad Zaki Mubarrak., S,H., M,H selaku Direktur Eksekutif Estungkara Riset.
“Semoga webinar ini dapat menjadi sarana edukasi dan membantu masyarakat melalui bidang akademik, untuk memberikan pemahaman tentang perlindungan hukum dalam perjanjian kredit”. Demikian sambutan Niken Wahyuni.
Hal senada juga disampaikan oleh Zaki Mubarrak “selamat berpetualang di dunia maya untuk khazanah keilmuan yang dapat bermanfaat bagi bnayak orang”.
Fransiskus Asisi S.,H alumni FH UAJY yang juga merupakan dari peneliti Estungkara Riset menjadi moderator dengan memberikan pengantar bahwa Pasca Adanya pandemi Covid-19 salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah perlindungan terhadap debitur, terlebih pemerintah telah mengeluarkan regulasi berkaitan dengan relaksasi kredit. Pembicara pertama mengungkapkan
“Pada masa pandemic covid-19 ini kedudukan objek jaminan tetap dapat dieksekusi oleh pihak Kreditur terhadap debitur-debitur tertentu, karena relaksasi kredit yang dapat diterapkan oleh lembaga Perbankan sesuai Peraturan OJK Nomor 11/POJK.3/2020 hanya dapat diberikan pada debiur-debitur tertentu yang terkena dampak Covid-19, namun, bank juga harus menerapkan assessment yang ketat agar tidak disalahgunakan oleh para free rider yang tidak beritikad baik” jelas Fathur yang menguraikan status objek jaminan pada masa pandemi Covid-19.
Dia juga menambahkan bahwa penetapan Covid-19 sebagai force majeure tidak serta merta memberikan peluang bagi debitur untuk membatalkan kontrak, melainkan untuk melakukan renegosiasi terkait pelaksanaan prestasi”. Tambahnya mengutip pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Moh. Mahfud MD.
Mengenai Regulasi Peraturan OJK Nomor 11/POJK.3/2020 kemudian diuraikan secara lebih komprehensif oleh Ardy Hartoyo, S.H. . “ POJK Nomor 11/POJK.3/2020 mengandung 3 poin penting, yaitu : Penetapan Kualitas Kredit Pembiayaan hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan Bunga dengan plafon kredit maksimal 10 Milyar Rupiah, Penerapan Restrukturisasi Kredit bagi Debitur yang terkena dampak Pandemi Covid-19, kesempatan bagi debitur untuk memperoleh tambahan Cashflow atau tambahan kredit bagi debitur guna meningkatkan stimulus pelunasan hutang”.
Dalam kesempatan ini Ardy memaparkan bahwa setiap penerapan kebijakan tersebut selalu disertai dengan proses assessment yang ketat serta pelaporan berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan. Hal tersebut diterapkan mengingat bentuk stimulus dan fasilitas relaksasi yang diterapkan oleh bank berdasarkan POJK ini sangat menggiurkan dan berpotensi disalahgunakan debitur-debitur yang tidak bertanggungjawab.
Dalam pemaparan terakhir, Rizki Karokaro menyampaikan paparan mengenai mekanisme penyelesaian kredit yang potensial untuk diterapkan pada masa pandemi. Menurut Rizki, mekanisme penyelesaian yang paling baik adalah dengan cara perundingan kembali atau renegosiasi antara debitur dengan kreditur. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan relaksasi secara online dengan melampirkan bukti-bukti pendukung yang menunjukkan bahwa debitur benar-benar beritikad baik untuk melunasi hutang dan terkena dampak Covid-19.
Pada akhir diskusi, setiap narasumber memberikan konklusi bahwa Covid-19 merupakan suatu ujian yang berdampak massive pada setiap sektor baik politik maupun ekonomi. Sehingga penerapan berbagai regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah memerlukan kolaborasi dan itikad baik dari setiap pihak yang berkepentingan.