
YOGYAKARTA — Organisasi masyarakat Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jaya atau GRIB Jaya turun tangan untuk mengawal kasus duguaan jual beli mafia tanah yang terjadi di wilayah Padukuhan Kroco, Kalurahan Sendangsari, Pengasih Kulonprogo.
Panglima Tim 17, DPP GRIB Jaya, Nur Jaelani, bahkan mengaku sengaja jauh-jauh datang dari Jakarta untuk memberikan dukungan penuh pada salah satu anggotanya yang menjadi korban kasus tersebut.
“Ini merupakan bentuk dukungan dan kepedulian kami untuk membantu masyarakat khususnya anggota kami, keluarga kami. Agar masyarakat yang masih awam soal hukum bisa mendapatkan perlindungan dan keadilan yang semestinya,” katanya di Wates Kulonprogo belum lama ini.
Kasus jual beli tanah di Padukuhan Kroco, Kalurahan Sendangsari, Pengasih, Kulonprogo sendiri terjadi beberapa tahun lalu dan saat ini masuk ke meja hijau. Seorang penjual tanah berinisial IS melampirkan gugatannya ke Pengadilan Negeri Wates dengan tergugat 1 berinisial F dan tergugat 2 berinisial R.
Kuasa Hukum Tergugat Tamyus Rohman menyampaikan kasus jual beli tanah ini bermula saat penjual IS menawarkan objek berupa bidang tanah seluas 4 ribu meter persegi ke F di tahun 2015. Tanah itu berlokasi di Padukuhan Kroco, Kalurahan Sendangsari.
F yang kala itu merasa tak membutuhkan, sempat menolak. Namun, setelah ditawarkan untuk ketiga kalinya F akhirnya menerima tawaran itu.
“Tanah itu kemudian terjual dengan harga Rp 250 juta, dan saat itu tidak langsung balik nama,” ucap Tamyus, saat konferensi pers, Senin (3/3/2025).

Saat itu, F tak sempat merubah kepemilikan dan hanya menerima sertifikan tanah yang belum dirubah kepemilikannya.
Selang beberapa tahun, tepatnya di tahun 2020 F kemudian menjual tanah itu ke R dengan harga 10 kali lipat dibanding harga sebelumnya. F menjual tanah seluas 4 ribu m persegi itu dengan harga sekitar Rp 2,5 miliar ke R.
Harga tersebut naik 10 kali lipat karena disesuaikan dengan harga kewajaran tanah yang ikut naik dari tahun ke tahun.
Karena status sertifikat tanah yang belum diurus membuat transaksi jual beli tersebut diketahui pemilik awal IS. Pemilik awal IS mengetahui harga jual tanah melambung tinggi.
Tak terima harga tanah naik 10 kali lipat, IS pun lantas melayangkan gugatannya ke PN Wates. Ia berkilah transaksi bidang tanah bukanlah jual beli, melainkan berupa hutang piutang.
IS menggugat agar tanah yang dijual F dapat disesuaikan harganya. Lantaran, IS mengaku penjual pertama disebut sebagai piutang. Sehingga, hak jual beli dan keuntungan seharusnya didapat dirinya.
Tamyus mengklaim klinenya tidak bersalah karena telah melakukan proses jual beli sesuai prosedur. Karena itu ia pun berharap agar pihak PN wates dapat memproses kasus ini dengan seadil-adilnya.