
JOGJA — Setiap tahun, Karaton Yogyakarta menggelar Hajad Dalem Sekaten pada tanggal 6 hingga 12 Mulud berdasarkan Kalender Jawa Sultan Agungan. Hajad Dalem Sekaten dibuka dengan prosesi Miyos Gangsa dan ditutup dengan prosesi Kondur Gangsa. Pagi hari berikutnya, yang merupakan tanggal lahir Nabi Muhammad SAW dalam Tahun Jawa, diperingati dengan Hajad Dalem Garebeg Mulud.
Pada tahun 2019 ini, Miyos Gangsa, Kondur Gangsa dan Garebeg Mulud dilaksanakan pada tanggal 3, 9, dan 10 November. Bersamaan dengan pelaksanaan Hajad Dalem Sekaten kali ini, Karaton menggelar pameran yang sudah berlangsung sejak tanggal 1 November hingga hari ini, Sabtu tanggal 9 November 2019 di Kagungan Dalem Bangsal Pagelaran dan Kompleks Sitihinggil Karaton Yogyakarta.
Tema besar yang diangkat dalam pameran adalah “Sri Sultan Hamengku Buwono I: Menghadang Gelombang, Menantang Zaman”. Oleh karena itu, koleksi yang dipamerkan dan muatan acara pameran akan memiliki sangkut-paut dengan pendiri Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut.
Sekaten dipercaya sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Kerajaan Demak pada awal abad XVI. Sekaten terus menerus dilestarikan oleh Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa Tengah seperti Pajang dan Mataram, baik pada saat pusat kerajaan berada di Kerta, Pleret, Kartasura, hingga Surakarta dan Yogyakarta.
Ada yang memaknai Sekaten berasal dari kata ‘syahadatain’ yang berarti dua kalimat syahadat. Selain itu, Sekaten di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat juga terkait erat dengan gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Nagawilaga. Konon, pada masa Kerajaan Demak, para Wali menggunakan momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada Bulan Mulud (Tahun Jawa) untuk berdakwah dengan pertama-tama membunyikan gamelan. Masyarakat yang tertarik dengan suara gamelan, akan berkumpul dan kemudian mendengarkan dakwah para Wali dalam menyebarkan agama Islam. Sekaten yang diselenggarakan pada Bulan Mulud kemudian juga sering disebut dengan peringatan Muludan.
“Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Nagawilaga bukan berasal dari Demak. Setelah Perjanjian Giyanti digelarlah pertemuan antara Sultan Yogyakarta dengan Sunan Surakarta di Lebak, Jatisari. Pertemuan ini membahas mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan, termasuk mengenai perbedaan identitas kedua wilayah yang sudah menjadi dua kerajaan yang berbeda. Peristiwa ini terjadi pada Sabtu Pahing, 15 Februari 1755. Maka dapat dikatakan bahwa Sabtu Pahing adalah hari budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat,” demikian dikatakan oleh KRT. Jatiningrat atau yang akrab disapa Romo Tirun, dalam acara Talkshow dan Diskusi “Sekaten dan Kearifan Dakwah Budaya” di Serambi Kagungan Dalem Masjid Gedhe Karaton Ngayogyakarta Sabtu sore (9/11).
Sementara itu, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. KH. Yudian Wahyudi, PHd mengatakan bahwa ada keterkaitan antara dakwah dengan gamelan. “Pada prinsipnya dalam hal menjalankan syariat atau ajaran agama Islam ada dua hal yang tidak boleh diubah yaitu soal akidah dan ibadah mahdhoh. Selain dua hal ini, bisa dilakukan dengan cara ijtihad, misalnya dakwah dengan budaya dan kearifan lokal seperti dengan gamelan. Budaya yang ditujukan untuk dakwah tidak tepat jika dikatakan sebagai bid’ah, termasuk hal-hal kecil seperti bersalaman setelah sholat berjamaah, karena hal ini dapat dimaknai sebagai bagian dari bagian dalam bersilaturahim yang notabene juga dianjurkan oleh Rasulullah SAW.”
Prosesi Sekaten diawali dengan prosesi Miyos Gangsa. Yaitu keluarnya Gamelan Sekati Kanjeng Kiai (KK) Gunturmadu dan Kanjeng Kiai (KK) Nagawilaga dari dalam KaratonYogyakarta menuju area Pagongan Masjid Gedhe pada tanggal 6 Mulud Tahun Jawa. Pada dini hari tanggal 12 Mulud, Gamelan Sekati akan dikembalikan ke dalam Karaton melalui prosesi Kondur Gangsa. Selama berada di Pagongan Masjid Gedhe antara 6-12 Mulud ini, gamelan terus menerus ditabuh sejak pagi hingga tengah malam secara bergantian. Rentang waktu pada saat gamelan dibunyikan inilah yang disebut dengan berlangsungnya tradisi Sekaten.
Upacara Miyos Gangsa tahun ini sudah dilaksanakan pada Minggu (3/11). Utusan Dalem yang dalam hal ini adalah Putra-Putra Dalem Putri menyebar udhik-udhik di area Bangsal Ponconiti dan Kamandungan Lor (Pelataran Keben) pada pukul 20:00. Prosesi Miyos Gangsa dimulai tepat pukul 23:00 hingga menuju tengah malam. Sementara itu, Kondur Gangsa dilaksanakan pada hari ini, Sabtu (9/11) pukul 23.00. Sri Sultan HB X miyos di Masjid Gedhe untuk melaksanakan serangkaian kegiatan. Keesokan harinya setelah pelaksanaan Kondur Gangsa, digelar Garebeg Mulud pada Minggu (10/11) mulai pukul 07:00. Seluruh rangkaian kegiatan ini dapat disaksikan oleh masyarakat umum. Sesaat sebelum dimulainya prosesi Kondur Gangsa, Sultan miyos ke halaman Masjid Gedhe untuk menyebar udhik-udhik yang terdiri dari beras, biji-bijian dan uang logam di tiga tempat diawali dari Pagongan Kidul, Pagongan Lor, dan di dalam Masjid Gedhe. Peristiwa ini merupakan momen yang mempertemukan raja dengan rakyat secara langsung.
Selanjutnya, Sri Sultan mendengarkan pembacaan Riwayat Nabi Muhammad SAW di Serambi Masjid Gedhe dengan mengenakan sumping atau rangkaian bunga di telinga. Penggunaan sumping bunga ini mempunyai makna bahwa raja akan mendengarkan keluhan serta aspirasi rakyat. Luhurnya tradisi beserta makna yang terkandung dalam setiap rangkaian acara yang telah berlangsung selama ratusan tahun ini memang lebih ditonjolkan melalui pengelolaan acara sekaten tahun ini. Hal ini diharapkan dapat lebih meneguhkan keistimewaan Yogyakarta dalam menjadi benteng budaya di tanah Jawa.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, rangkaian Hajad Dalem Sekaten 2019 tidak diikuti dengan pasar malam. Ditiadakannya pasar malam pada tahun ini yakni untuk mengembalikan inti pokok dari Hajad Dalem Sekaten.
“Tahun ini sesuai dengan dawuh dari Ngarso Dalem untuk mengingatkan kembali kepada masyarakat tentang inti dan pokok Sekaten itu bukanlah pasar malamnya, tapi Sekaten itu sendiri,” demikian dikatakan oleh Wakil Ketua Panitia Pameran Sekaten, GKR Bendara, pada soft launching Pameran Sekaten 2019.
Untuk tahun ini rangkaian Sekaten juga diwarnai dengan berbagai acara seperti pelatihan dan pertunjukan seni, diskusi film budaya, workshop aksara Jawa digital serta Talkshow dan Diskusi bertema “Sekaten dan Kearifan Dakwah Budaya” di Kagungan Dalem Serambi Masjid Gedhe Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, pada hari ini, Sabtu (09/11).
Hadir sebagai pembicara KRT. Jatiningrat (Penghageng Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat), KRT. Jayaningrat (Kawedanan Pengulon Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat), Prof. Dr. KH. Yudian Wahyudi, Ph.D (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan MJA. Ruhullah, SHI, M.Hum (Pengirit Pengkaji Kitab Kawedanan Pengulon Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat).
“Talkshow dan Diskusi yang dihadiri oleh ratusan masyarakat umum ini memang ditujukan untuk dapat membedah keterkaitan antara tradisi-tradisi Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat termasuk Sekaten, dengan dakwah atau syiar agama Islam melalui berbagai jenis kearifan lokal. Hal ini sangat diperlukan, mengingat cikal-bakal Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah berawal dari Kasultanan Mataram Islam. Tradisi Jawa yang berakulturasi dengan ajaran Islam akan sangat menarik untuk diperbincangkan. Apakah ada yang sudah punah, apakah ada yang masih bertahan tetapi maksud dan tujuannya sudah berubah dari yang diajarkan Walisanga (dalam hal ini Sunan Kalijaga, red), dan apakah ada yang masih bertahan tetapi dengan modifikasi-modifikasi yang disesuaikan dengan perubahan zaman” demikian dikatakan oleh MJA. Ruhullah, SHI, M. Hum yang akrab disapa Gus Taqi, yang dihubungi setelah acara diskusi berlangsung. Secara keseluruhan acara ini berlangsung lancar dan mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat sekitar dan jamaah Masjid Gedhe yang ikut hadir.